Sebulan
lalu, perwakilan Indonesia di ajang Miss Universe, Elvira Devinamira mengulang
kembali prestasi yang cukup mengganggakan atas terpilihnya sebagai kontestan
top 15 (semifinalis). Sebelumnya perwakilan Indonesia yang berhasil menembus ke
semifinalis yaitu Whulandary Herman pada tahun 2013 dan Artika Sari Devi pada tahun
2005.
Saat
ini Indonesia menjadi kontestan tetap yang setiap tahun mengirimkan wakilnya
untuk mengikuti ajang kecantikan tersebut. Tidak hanya Miss Universe saja,
tetapi juga perhelatan internasional sejenis lainnya seperti Miss World, Miss
International, dan lain sebagainya. Bahkan untuk laki-laki pun ada kontesnya
dan dalam satu dekade ini Indonesia tidak pernah absen mengirimkan wakilnya
untuk bertanding.
Pengiriman
perwakilan untuk kontes-kontes tersebut sempat dilarang pada saat rezim pemerintahan
orde baru. Saat itu kontes kecantikan dianggap hanya untuk meraup keuntungan
bisnis perusahaan kosmetik, pakaian renang, rumah mode, atau salon kecantikan, dan
bertujuan mengeksploitasi kecantikan perempuan dan pelecehan. Seiring
pergantian pemerintahan, perubahan cara pandang masyarakat, dan perkembangan
informasi, kontes tersebut diperbolehkan lagi pelaksanaannya bahkan diizinkan
untuk mengirim pemenangnya untuk mewakili Indonesia di kontes internasional. Keikutsertaan
Indonesia dalam kontes kecantikan bertaraf internasional tersebut
digadang-gadang akan dapat lebih memaksimalkan potensi pariwisata Indonesia dan
sebagai ajang promosi kebudayaan Indonesia di mata dunia.
Ajang Promosi Pariwisata
Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa dengan mengirimkan perwakilan ke ajang
internasional tersebut nama Indonesia akan lebih dikenal oleh masyarakat dunia.
Mengingat masih banyak warga negara asing yang hanya mengenal Bali saja, dan
menganggap Indonesia dan Bali adalah dua negara yang berbeda. Saat nama Indonesia
disebut, masyarakat internasional yang masih asing dengan negara kita akan
bertanya-tanya dan mencari informasi tentang Indonesia. Tidak kecil kemungkinan
juga setelah mengetahui tentang keindahan Indonesia mereka akan sangat tertarik
untuk berkunjung dan sekedar berlibur menikmati keindahan alam yang ada. Bahkan
saat ini pakaian tradisional menjadi salah satu unsur yang dikompetisikan dalam
ajang kecantikan tersebut sehingga dunia dapat melihat secara langsung hasil
karya kreatifitas desainer dalam negeri dalam menginterpretasikan pakaian adat
tradisional ke dalam suatu bentuk fisual yang lebih modern.
Terbukti
saat dua tahun yang lalu salah satu ajang internasional terbesar yaitu Miss
World dihelat di Bali. Terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan asing di
Indonesia yang terpusat di Bali pada tahun 2013 terutama pada saat mendekati
dan beberapa minggu setelah kontes diselenggarakan. Jumlah kunjungan wisatawan
di Indonesia semakin membaik sejak saat itu. Peningkatan yang relatif baik
sejak peristiwa pengeboman yang terjadi beberapa tahun lalu di tempat yang sama
dan menurunkan angka kunjungan wisatawan asing secara drastis karena perasaan
tidak aman dan banyaknya negara yang memberlakukan larangan untuk mengunjngi
Indonesia (travel warning). Hal itu didorong pula oleh penyelenggaraan event
internasional lain yaitu pertemuan tahunan KTT APEC yang juga diadakan di Bali.
Eksploitasi Bisnis
Penyelenggaraan
kontes Miss World tersebut memang sempat mendapat penentangan dari beberapa
pihak, tetapi kontes tetap dapat diselenggarakan dengan mengurangi unsur-unsur
yang tidak sesuai dengan norma-norma yang diterapkan di Indonesia seperti
penghapusan kontes pakaian renang atau bikini dan lebih menekankan unsur
kebersamaan dan kemanusiaan. Apalagi sisi sosial diangkat menjadi salah satu
tolok ukur penilaian dalam konter tersebut, sebut saja segmen Beauty with A
Purpose yang telah banyak memberikan sumbangsih bagi kemanusiaan.
Penyelenggaraan
kontes kecantikan maupun pengiriman wakil Indonesia dalam kontes kecantikan
internasional saat ini telah didukung secara penuh oleh pemerintah. Namun
banyak juga yang pihak-pihak yang masih menentang diadakannya kontes kecantikan
atau pengiriman wakil dalam kontes kecantikan bahwa penyelenggaraan kontes
tersebut tidak memiliki faedah sama sekali. Hal ini dapat dibenarkan jika kita
melihat penyelenggaraan salah satu kontes kecantikan terbesar yaitu Miss
Universe.
Kontes
Miss Universe gagal dilaksanakan pada tahun 2014 karena banyaknya pertimbangan,
yang pada akhirnya ditetapkan juga pelaksanaannya di awal tahun 2015. Salah
satunya adalah permasalahan pembiayaan. Perhelatan kontes kecantikan tersebut
mematok biaya yang sangat tinggi dalam pelaksanaannya dan biaya tersebut akan
lebih banyak dibebankan kepada pelaksana di negara temapt kontes tersebut
diselenggarakan. Hal ini dapat dianggap sebagai sebuah pemborosan jika memang
kontes tersebut dibiayai oleh pemerintah setempat melalui dana lembaga
pariwisatanya bukan oleh sponsor.
Selain
itu, penyelenggaraan Miss Universe dianggap terlalu vulgar dalam
mengeksploitasi kecantikan wanita dan menggiringnya menjadi salah satu ladang
bisnis untuk menuari profit. Tentu saja organisasi penyelenggara kontes tidak
ingin dirugikan dengan membuang banyak biaya dari perusahaan sendiri. Pastinya
mereka akan mencari sponsor sebanyak-banyaknya dalam pelaksanaan dan meraup
untung sebanyak-banyaknya misalnya hak siar atau penjualan tiket dan
merchandise atas penyelenggaraan kontes yang sudah sangat tenar tersebut.
Seiring
dengan perkembangan pemikiran masyarakat yang semakin humanis, kita harus bisa
menyaring dan menyesuaikan jika memang kontes tersebut layak untuk diikuti atau
diselenggarakan di negara ini. Harus disesuaikan dengan norma-norma yang ada,
tidak terlalu mengekpose dan mengkploitasi kecantikan perempuan hanya untuk
tujuan bisnis, dan harus memiliki visi, misi, dan tujuan untuk mengembangkan
sisi kemanusiaan.